Berdirinya UNIVA sebagai perguruan tinggi Islam tertua ketiga di
Sumatera Utara secara tidak langsung diilhami oleh keberadaan Universitas Al
Azhar di Mesir dan Universitas Ummul Quro di Mekah. Universitas ini
sebelumnya menjadi tujuan studi pelajar-pelajar alumni Qismu Ali Al Washliyah.
Para tokoh Al Washliyah memandang pentingnya mendirikan perguruan tinggi
Islam yang berciri paham ”Ahlus Sunnah wal Jama’ah” yaitu mengembangkan
akidah Asy’ariyah dan mazhab fiqih Asysyafi’iyah sebagai paham dan implikasi
dari keinginan umat Islam sebagai mayoritas di Sumatera Utara.
Besarnya peranan lulusan universitas umum model barat di tengah
masyarakat Muslim juga menjadi tantangan bagi ulama Al Washliyah untuk
berusaha mendirikan perguruan tinggi bagi generasi mudanya. Hal di atas menjadi
salah satu faktor yang melatar belakangi lahirnya UNIVA. Perguruan tinggi ini
menyelenggarakan sistem pendidikan yang bertujuan melahirkan ulama dan
sarjana Islam dengan ciri khas mengembangkan paham ”Ahlus Sunnah wal
Jama’ah” yang berbeda dengan sarjana-sarjana produk universitas lain.
Ciri khas UNIVA yang mengembangkan paham ”Ahlus Sunnah wal
Jama’ah” tidak terlepas dari pengaruh ulama pendiri Maktab Islam Tapanuli
(MIT) berdiri tahun 1918 dan ulama generasi awal Al Washliyah yang menuntut
ilmu di Timur Tengah. Menurut Zamakhsyari, akhir abad ke-19, lebih dari 5.000
orang Indonesia belajar di Timur Tengah, terutama Mekah dan Madinah
(Haramain). Mereka umumnya menunaikan haji sekaligus menuntut ilmu dan
memperpanjang masa mukim untuk belajar. Setelah mendapatkan otoritas
mengajar (ijazah) mereka kembali dan memtransmisikan ilmunya di negeri asal.
Oleh karena itu, pengaruh tradisi intelektual Islam Timur Tengah, khususnya
Makkah Madinah, terhadap pendidikan Islam di Nusantara sangat besar. Pada
waktu itu, lembaga pendidikan Islam terkemuka di Nusantara adalah pesantren.
Trend studi ke Mekah dan Madinah kemudian agak berkurang menjadi
trend studi yang kemudian disebut reformis, berpusat di Universitas al-Azhar
Kairo. Pembaharuan sistem pendidikan di Mesir secara modern dipelopori oleh
Muhammad ‘Ali Pasya yang berkuasa tahun 1805-1848. Apalagi tokoh–tokoh
pembaharu Islam ada di sana seperti al- Thahthawi (1801-1873), Muhammad
Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935) yang melakukan pembaharuan
di Universitas al-Azhar Kairo. Keberhasilannya dalam memajukan pendidikan
menjadi perhatian dan diikuti oleh negeri-negeri Islam. Sehingga menjadikan
Mesir sebagai tujuan studi Muslim di seluruh dunia.
Sejak masa itu, semakin banyak orang Indonesia yang belajar di al-Azhar.
Bersamaan dengan berkurangnya minat belajar ke Haramain. Pergeseran orientasi
tersebut terutama disebabkan faktor-faktor berikut: pertama, pemikiran Wahabi
yang sebelumnya ditolak kebanyakan ulama Nusantara tradisional mulai dominan,
Kedua, pendekatan reformis di Mesir terhadap Islam lebih sesuai dengan
kebutuhan dan mentalitas umat Islam Indonesia waktu itu.
Walau pada awalnya ulama-ulama Sumatera Utara menuntut ilmu ke
Mekah dan Madinah seperti; Ja’far Hasan Tanjung (1880-1950), Hasan Maksum
(1884-1937), Mohammad Yunus (1889-1950)4 dan lainnya. Belakangan terjadi
pergeseran orientasi, generasi berikutnya lebih memilih untuk studi ke al-Azhar
Mesir. Hal inilah yang mendasari mengapa tokoh-tokoh Al Washliyah, tokoh
UNIVA dan tenaga dosennya kebanyakan adalah alumni dari Timur Tengah
terutama al-Azhar Mesir, yang terkenal sebagai pusat utama teologi Sunni dan
keilmuan mazhab Syafi’iyah.